Halaman

Disiplin, Percaya Diri, dan Tangguh Adalah Kunci Kesuksesan

Welcome

Living with Integrity (Memercayai,Mengatakan dan Melakukan yang Benar sesuai Panggilan Allah)

21 Juli 2015

MANURUNG SIPOLIN-POLIN (SISADA ANAK SISADA BORU)

         Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

 Marga Batak Toba adalah marga pada Suku Batak Toba yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, terutama berdiam di Kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Laguboti, dan sekitarnya. Orang Batak selalu memiliki nama marga/keluarga. Nama / marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus,salah satunya adalah marga Manurung

Manurung satu warna, itulah terjemahan bebas istilah bahasa Batak kuno ini. Sebuah wasiat suci yang diwariskan turun-temurun, agar setiap marga Manurung menjaga kesatuan dan solidaritas Manurung untuk selamanya.

*Manurung sipolin-polin* adalah buah kearifan para leluhur Manurung yang memiliki visi futuristik, bahwa setelah mereka berlalu ada kemungkinan keturunannya mengalami perpecahan.

Potensi ke arah itu memang ada berhubung Raja Manurung memiliki tiga anak : Hutagurgur, Hutagaol, Manoroni.

Namun berkat adanya wasiat suci tadi, sampai detik ini Manurung masih satu. Kalau dibandingkan dengan perpecahan di banyak marga yang umumnya disusul dengan "proklamasi" marga baru, keutuhan Manurung hingga detik ini merupakan prestasi yang menarik untuk dikaji.

Manurung adalah salah satu marga tertua, merupakan generasi keenam dari leluhur etnis Batak yaitu Raja Batak. Kalau dicermati silsilah marga-marga lain, sebagian besar sudah pecah pada generasi keempat. Tak sedikit di antara sub-sub marga kemudian pecah
lagi, membentuk sub-sub marga baru yang nantinya bakal pecah lagi berkali-kali.

Tidak ada maksud menepuk dada atau menyombong dengan mengemukakan fakta ini. Bangga memang ya, karena leluhur Manurung ternyata sangat arif dan futuristik. Hanya dengan sebuah* tagline* atau semboyan yang sederhana, mereka berhasil mengikat keturunannya– puluhan generasi kemudian–untuk tetap mengibarkan satu bendera : *Manurung United.*

Meskipun belum tersedia data statistik yang valid, bisa dikatakan, Manurung adalah salah satu marga terbesar di antara sekitar 400 marga Batak. Di Tapanuli, marga ini memiliki "home base" yang lumayan luas, terbentang dari Parapat sampai Porsea, mencakup hampir setengah luas wilayah Kabupaten Toba Samosir.

Sedangkan di perantauan, hampir di semua kota di Indonesia ada marga Manurung. Mayoritas bermukim di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi.

Baik di kampung halaman maupun di perantauan, Manurung punya reputasi bagus sebagai marga yang cinta damai. Kaum prianya rata-rata berperangai tenang, kuat pengendalian diri dan lebih suka menyelesaikan perselisihan dengan berunding atau diplomasi. Mungkin karena karakternya itulah, sedikit sekali marga Manurung yang menjadi anggota TNI, Polri atau preman.

Ada juga faktor lain yang membuat kaum pria Manurung cenderung mengekang diri dan kurang garang dalam interaksi sosial sesama orang Batak, yaitu lantaran banyak betul marga yang memanggilnya Tulang (paman dari garis ibu), karena ibunya, neneknya atau leluhurnya beberapa generasi ke atas adalah boru Manurung (perempuan bermarga Manurung).

Kedudukan Tulang sangat terhormat di dalam masyarakat Batak, maka yang bersangkutan "terpaksa" menjaga sikap dan perbuatan agar sesuai dengan kedudukan itu.

Salah satu marga yang lahir dari rahim boru Manurung adalah *Tambunan*. Leluhur marga ini bahkan terlahir di kampung halaman Manurung di daerah Sibisa. Fakta historis ini sudah menjelaskan dengan sendirinya, Manurung memang baik hati dan mengayomi bere atau keponakannya.

Hal inilah yang membuat para sepupu Tambunan yang tergabung dalam rumpun marga *Silahi Sabungan* ikut menghormati Manurung sebagai Tulang.

Fakta tersebut di atas, betapa banyak marga yang menghormati Manurung sebagai Tulang, sebenarnya merupakan anomali atau kenyataan yang ganjil.

Kenapa? Karena bertolak belakang dengan sifat umum kaum prianya, kaum perempuan (boru) Manurung justru terkenal agresif, garang, nekad dan independen. Selain itu, jarang sekali boru Manurung berwajah cantik, tapi ternyata malah laris manis dan menjadi ibu yang melahirkan banyak marga dikalangan etnis Batak.

Kenapa bisa begitu ? Ternyata di balik sikapnya yang pemberang, garang dan pembangkang (plus cerewet juga), boru Manurung selalu berbakti secara total demi meningkatkan kesejahteraan dan mengangkat harkat serta martabat keluarga suaminya. Mereka dikenal pekerja keras, ulet dan tidak jaim, sehingga pekerjaan kasar pun dilakoni. Kalau martabat keluarga suaminya direndahkan orang lain, dia akan maju paling depan melabrak pelakunya.

Fakta yang kontradiktif inilah yang melambungkan reputasi boru Manurung, sehingga banyak marga yang mendambakannya menjadi menantu. Dan itu pula salah satu faktor yang membuat marga lain menaruh hormat pada Manurung.

Inilah sekilas salam perkenalan dari marga Manurung untuk warga dunia. Sebuah ikhtiar kecil untuk mendorong dan mewadahi komunikasi positif dikalangan *halak hita*, untuk selanjutnya disumbangkan demi memperkuat keragaman budaya di Indonesiaan kita.

08 Juli 2015

11 Istilah Perkawinan Suku Batak Toba – Patut Anda Ketahui

Perkawinan dalam suku Batak sejak jaman nenek moyang orang Batak adalah satu tardisi adat dan budaya yang menyatukan dua kerabat laki-laki dan perempuan. Dengan berbagai alasan baik dari faktor penyelamatan harta kekayaan ataupun keturunan, banyak jenis-jenis perkawinan yang sejak dulu diatur dalam Adat Batak, khususnya Batak Toba diberbagai tempat di Bonapasogit.


Berikut Istilah Perkawinan suku Batak Toba yang masih di anggap sah dalam adat Batak Toba  yang patut Anda diketahui.
1. Mahiturun atau Mahuempe. Perkawaninan ini terjadi adalah sebuah dekasan seorang gadis yang menemui pemuda pujaan hatinya. Dahulu perkawinan Mahiturun ini ada dikarenakan beberapa alasan, hampir sama faktornya dengan Mangalua, orangtua si gadis tidak merestui pergaulannya dia seorang pemuda tentu dengan alasan tertentu. Bisa juga dikarena orangtua yang terlalu memingit anak gadisnya dan melarang bergaul dengan pemuda lain. Biasanya bentuk perkawinan Mahiturun atau Mahuempe ini seorang gadis atas kemauannya sendiri dan ditemani oleh gadis-gadis lain untuk menemui pemuda pujaan hatinya.
2. Panoroni. Perkawinan untuk menggantikan istri yang meninggal, jika masih mempunyai anak yang masih kecil-kecil sang suami yang sudah berstatus Duda bisa mecari dan mengawini seorang wanita untuk dijadikan istri. Dalam hal ini sang suami dapat memberitahukan rencana untuk menikah kembali kepada pihak keluarga istri yang pertama, namun ada juga yang tidak. Panoroni bisa juga dilaksanakan oleh karena beberapa alasan, diantarnya jika sang suami sudah tua, dan mempunyai anak serta cucu yang tinggalnya berjauhan agar sang bapak memiliki teman di ahkir hidupnya.
3. Mangalua. Mangalua sedikit mirip dengan kebalikan dari Mahiturun, atau kawin lari antara seorang gadis dan pemuda atas keinginan bersama. Hingga saat ini Mangalua atau Kawin lari sangat sering terjadi. Kejadian ini dapat terjadi karenakan salah satu dari orangtua dari kedua mempelai tidak direstui. Biasanya kejadian ini akan jika membayar ada dengan melaksanakan Adat Perkawinan sesudah punya anak hingga meluluhkan hati orangtua yang pada ahkirnya merestui pernikahan anaknya.
  4Mangabing Boru. Hampir sama artinya dengan Mangalua namun Mangabing Boru masuk pada tingkatan pada kawin lari secara paksa. Disini yang paling dominan berperan adalah pihak laki-laki. Seorang pemuda yang sangat mencitai gadis dambaan hatinya ternyata lamarannya ditolak secara sepihak oleh orang tua, maka demi menutupi malu dan didorong rasa cintanya yang berapi-api, maka si pemuda mengajak beberapa orang temannya untuk menculik si gadis dan membawa si gadis kerumahnya untuk dijadikan istri. Dulu perbuatan ini dianggap melangkar norma adat ataupun perbuatan asusila bisa dilamporkan ke pihak berwajib tentang penculikan. Biasanya kejadian seperti ini akan diselesaikan secara baik-baik hingga proses perkawinan normal seperti biasanya.
5. Marimbang atau Tungkot. Jenis perkawinan ini sama artinya dengan Bigami atau Poligami. Sejak dulu sudah banyak lelaki yang malakukan poligami dan biasanya alasan yang sering diungkapkan menyatakan untuk memperoleh keturunan yaitu karena masih belum mendapatkan keturunan laki-laki. Bagi suku Batak anak laki-laki adalah penerus marga, tanpa anak laki-laki status sosial menjadi GABE(maranak dan marboru) tidak Sangap. Tetapi ada juga yang bermaksud memperbesar kekeluargaan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraaan atau disebut pabidang panggagatan(melebarkan lapangan tempat merumput). Dalam kasus perkawinan bigami(marsidua-dua) kedudukan istri kedua sangat seimbang dengan istri pertama, sebab itu disebut marimbang. atau yang lain yaitu si istri pertama memilih istri kedua dari kalangan keluarga terdekat dan disebut tungkot(tongkat) .
6. Singkat Rere. Sebagian istilah ini adanya yang menyebutnya Ganti Mandar atau Ganti Tikar (Rere) Perkawinan istri yang sudah menjadi janda (suami meninggal) ataupun sebaliknya. Jika seorang suami meninggal, maka akan timbul masalah bagi si janda untuk penghidupannya di kemudian hari dan jika si janda masih sehat dan masih mampu memberikan keturunan dan tidak keberatan untuk kawin lagi maka yang pertama harus dipertimbangkan menjadi calon suaminya ialah adik laki-laki dari si suami yang meninggal,atas dasar ‘ganti tikar’(singkat rere). Kalau pria yang mengawini si janda ialah adik atau abang kandung si suami atau saudara semarga yang sangat dekat dengan almarhum, maka istilah perkawinannya disebut pagodanghon atau pareakkon.
7. Manghabia. Kejadian ini sudah sangat jarang sekali terjadi karena merusak Partuturon (silsilah). Jaman dahulu, biasanya seorang kakek yang sudah berstatus duda dapat mengawini Parumaen (menantu perempuan) dimana suaminya (anak dari kakek tersebut) sudah meninggal. Singkatnya Parumaen jadi istri dari mertuanya. Belum jelas apa sebenarnya faktor utama mengapa jenis pernikahan ini diakui dalam adat Batak Toba, beberapa sumber menyebutkan adalah untuk menyelamatkan garis keturunan dan harta warisan, agar parumaennya tidak menjadi istri diluar marga suaminya. Juga ada yang menceritakan, bahwa itu adalah hak dari keluarga tersebut (pihak laki-laki) untuk menjaga garis keturuanannya.
8. Parumaen di Losung. Perkawinan ini adalah bentuk ikatan karena utang. Dulu jika satu keluarga memiliki anak gadis yang banyak orangtuanya dapat menggunakan anak gadisnya sebagai agunan utang si bapak. Biasanya ini lakukan oleh latar belakang ekonomi. Jika seorang bapak mempunyai utang pada seseorang dan belum mampu melunasinya, maka sebagai agunan utangnya dia menyerahkan anak gadisnya untuk dipertunangkan kepada anak si pemberi utang.
  9. Marsonduk Hela. Perkawinan Marsonduk Hela ini hampir sama dengan perkawinan biasa, akan tetapi karena mas kawin(sinamot) yang harus diserahkan kurang, maka diputuskan si laki-laki itu menjadi menantunya dan dia akan tinggal bersama mertuanya untuk membantu segala pekerjaan dari mulai pekerjaan rumah sampai sawah. Ibarat konsekuensi sinamot kurang itu digenapi. Namun pihak sinonduk hela(menantu) tidak seumur hidup harus tinggal berasama mertuanya, jika keadaan sudah memungkinkan dia dapat pindah di rumahnya sendiri.
10. Manggogoi. Perkawinan ini terjadi dikarenakan setelah digauli paksa. Dulu jika seorang laki-laki menggauli perempuan secara paksa(manggogoi) ada dua hal yang mungkin terjadi. Jika si perempuan bersedia melanjutkan kasusnya ke arah perkawinan yang resmi, maka prosedurnya sama denganMangabing Boru. tetapi jika perempuan tidak mengenal pria tersebut dan tidak bersedia dikawinkan maka pria tersebut dinamakan pelanggar susila hukumannya ialah hukuman mati.
11. Dipaorohon. Adalah proses perkawninan dengan pertunangan semasa anak-anak. Pertunangan anak-anak pada jaman dahulu bukanlah hal yang aneh, hal ini sering dilakukan oleh raja-raja dahulu. Beberapa alasan mempertunangkan anak-anak: hubungan persahabatan/ kekeluargaan, seseorang tidak mampu membayar utang kepada pemberi utang, dan lain-lain

5 Perkawinan Yang Dilarang Adat Batak Toba

 Perkawinan bagi masyarakat Batak khususnya orang Toba adalah hal yang wajib untuk dilaksanakan, dengan menjalankan sejumlah ritual perkawinan adat Batak. Meski memiliki keunikan dan ragam keistimewaan yang terkandung dalam acara tersebut, upacara perkawinan adat Batak Toba juga terkenal sangat “merepotkan” jika kita bandingkan dengan upacara perkawinan di daerah lainnya di Indonesia.
Dalam perkawaninan adat Batak Toba juga ada aturan-aturan tertentu yang harus ditaati, dan hukumannya sangat tegas yang dianut oleh orang Batak sejak dulu kala. Dibeberapa daerah dan aturan yang berlaku yang dilaksankan oleh penatua masing-masing daerah berbeda-beda, ada yang dibakar hidup-hidup, dipasung, dan buang atau diusi dari kampung serta dicoret dari tatanan silsilah keluarga. Meskipun era saat ini beberapa aturan yang diberlakukan sejak dahulu kala, sebagian orang Batak kini sudah ada melanggarnya.
Berikut ini 5 Larangan dalam Perkawinan Adat Batak Toba 

Namarpandan

Namarpadan/ padan atau ikrar janji yang sudah ditetapkan oleh marga-marga tertentu, dimana antara laki-laki dan perempuan tidak bisa saling menikah yang padan marga. Misalnya marga-marga berikut ini:
1.Hutabarat & Silaban Sitio
2.Manullang & Panjaitan
3.Sinambela & Panjaitan
4.Sibuea & Panjaitan
5.Sitorus & Hutajulu (termasuk Hutahaean, Aruan)
6.Sitorus Pane & Nababan
7.Naibaho & Lumbantoruan
8.Silalahi & Tampubolon
9.Sihotang & Toga Marbun (termasuk Lumbanbatu, Lumbangaol, Banjarnahor)
10.Manalu & Banjarnahor
11.Simanungkalit & Banjarnahor
12.Simamora Debataraja & Manurung
13.Simamora Debataraja & Lumbangaol
14.Nainggolan & Siregar
15.Tampubolon & Sitompul
16. Pangaribuan & Hutapea
17. Purba &  Lumbanbatu
18. Pasaribu & Damanik
19.Sinaga Bonor Suhutnihuta & Situmorang Suhutnihuta
20.Sinaga Bonor Suhutnihuta & Pandeangan Suhutnihuta

Namarito

Namarito (ito), atau bersaudara laki-laki dan perempuan khusunya oleh marga yang dinyatakan sama sangat dilarang untuk saling menikahi. Umpanya seprti parsadaan Parna (kumpulan Parna), sebanyak 66 marga yang terdapat dalam persatuan PARNA. Masih ingat dengan legenda Batak “Tungkot Tunggal Panaluan“? Ya, disana diceritakan tentang pantangan bagi orangtua yang memiliki anak “Linduak” kembar laki-laki dan perempuan. Anak “Linduak” adalah aib bagi orang Batak, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kedua anak kembar tersebut dipisahkan dan dirahasiakan tentang kebeadaan mereka, agar tidak terjadi perkawinan saudara kandung sendiri.

Dua Punggu Saparihotan

Dua Punggu Saparihotan artinya adalah tidak diperkenankan melangsungkan perkawinan antara saudara abang atau adik laki-laki marga A dengan saudara kakak atau adik perempuan istri dari marga A tersebut. Artinya kakak beradik laki-laki memiliki istri yang ber-kakak/ adik kandung, atau 2 orang kakak beradik kandung memiliki mertua yang sama.

Pariban Na So Boi Olion

Ternyata ada Pariban yang tidak bisa saling menikah, siapa dia sebenarnya? Bagi orang Batak aturan/ ruhut adat Batak ada dua jenis untuk kategori Pariban Na So Boi Olion, yang pertama adalah Pariban kandung hanya dibenarkan “Jadian” atau menikah dengan satu Pariban saja. Misalnya 2 orang laki-laki bersaudara kandung memiliki 5 orang perempuan Pariban kandung, yang dibenarkan untuk dinikahi adalah hanya salah satu dari mereka, tidak bisa keduanya menikahi pariban-paribannya. Yang kedua adalah Pariban kandung/ atau tidak yang berasal dari marga anak perempuan dari marga dari ibu dari ibu kandung kita sendiri. Jika ibu yang melahirkan ibu kita ber marga A, perempuan bermarga A baik keluarga dekat atau tidak, tidak diperbolehkan saling menikah.

Marboru Namboru/ Nioli Anak Ni Tulang

Larangan berikutnya adalah jika laki-laki menikahi boru (anak perempuan ) dari Namboru kandung dan sebaliknya, jika seorang perempuan tidak bisa menikahi anak laki-laki dari Tulang kandungnya.