Halaman

Disiplin, Percaya Diri, dan Tangguh Adalah Kunci Kesuksesan

Welcome

Living with Integrity (Memercayai,Mengatakan dan Melakukan yang Benar sesuai Panggilan Allah)

10 Juni 2009

AIR POWER

PERAN KEMAMPUAN PENGEMBANGAN AIR POWER INDONESIA
DALAM RANGKA MENINGKATKAN PERTAHANAN UDARA NASIONAL
PADA MASA MENDATANG



Dalam komunitas pertahanan Indonesia, salah saru perdebatan substansial yang masih terus mengemuka adalah mengenai peran pemberdayaan wilayah pertahanan. Hal ini terutama dikarenakan masih tingginya kekhawatiran terhadap keterlibatan TNI dalam politik praktis melalui jaringan struktur teritorial TNI Mengemukanya perdebatan mengenai hal ini juga dikarenakan beberapa hal lainnya seperti definisi terhadap istilah pemberdayaan wilayah pertahanan itu sendiri, hubungannya dengan doktrin dan strategi pertahanan serta kerangka regulasi pertahanan. Bagaimana kita memaknakan pemberdayaan wilayah pertahanan melalui pembinaan teritorial dalam konteks perubahan lingkungan global dan regional yang kini dihadapi Indonesia.

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak antara 95o Bujur Timur sampai 141o Bujur Timur dan 11o Lintang Selatan sampai 6o Lintang Utara yang terdiri dari 17 ribuan pulau besar dan kecil dengan luas wilayah hampir sama dengan Eropa. Oleh karena itu diperlukan perlindungan udara atau pertahanan udara. Dimulai dengan pembahasan mengenai konsep pertahanan udara setelah berakhirnya Perang Dingin.Berakhirnya Perang Dingin membawa implikasi luas bagi konsep pertahanan dan keamanan. Dimensi permasalahan mencakup bukan hanya masalah militer, tetapi juga masalah-masalah non-militer. Jessica Tuchman Mathews menganggap bahwa “perkembangan global yang terjadi belakangan ini menjadikan konsep keamanan nasional perlu memperhitungkan dimensi sumber daya alam, lingkungan dan masalah-masalah kependudukan”. Tickner menambahkan bahwa masalah-masalah ancaman nasional dari dimensi militer, ekonomi, politik dan lingkungan berkaitan satu sama lain. Barry Buzan membuat definisi yang lebih luas. Dalam pandangannya, ancaman terhadap keamanan nasional dapat bersumber dari ancaman militer, politik, sosial, ekonomi dan lingkungan.

Konsep Robert Jervis tentang dilema keamanan (security dilemma) memperoleh tafsiran baru yang lebih positif dengan diajukannya konsep security interdependence. Keamanan, menurut konsep baru ini, ditafsirkan bukan sebagai keamanan terhadap (security against) tetapi keamanan dengan (security with). Oleh sebab itu tidak mengherankan jika kerjasama-kerjasama regional dan/atau multilateral tanpa memperhitungkan sistem politik dan ideologi menjadi semakin berkembang. Konsep-konsep yang kemudian berusaha menafsirkan pengertian itu, antara lain adalah keamanan bersama (common security), keamanan menyeluruh (comprehensif security) dan keamanan kooperatif (cooperative security).

Doktrin pertahanan Indonesia dapat dibagi dalam enam periode,yaitu periode perang kemerdekaan (1945-1949), RIS (1949-1950), perang internal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1967), Orde Baru (1967-1998), dan Reformasi (1998-2004). Doktrin pertahanan Indonesia lebih menekankan pada ancaman internal sehingga pengembangan kekuatan laut dan udara cenderung terabaikan. Padahal, ancaman eksternal sebenarnya cukup nyata dan perlu diantisipasi. Meskipun kemungkinan agresi langsung oleh musuh relatif kecil, suatu kemampuan penangkalan (deterrence) perlu dikembangkan untuk memperkecil kemungkinan ancaman terhadap NKRI. Pertahanan udara juga semakin vulnerable sebagai sasaran pertama dalam setiap pertempuran. Lawan pasti akan memperhitungkan kekuatan udara sebagai bagian utama sistem penangkalan (deterrence) dan pertahanan (defence). Untuk menghindari situasi seperti itu, reconaissance dan surveillance menjadi semakin penting. Daya penetrasi serangan maupun kemampuan bertahan akan sangat tergantung pada reconaissance dan surveillance. Kecenderungan itu menjadi semakin penting bagi suatu negara yang menganut doktrin pertahanan defensif (defensif defence) yang memerlukan pertahanan yang canggih untuk menetralisasi serangan lawan.

Peran IPTEK pertahanan khususnya teknologi pertahanan termasuk di dalamnya teknologi militer merupakan hal yang sangat dirahasiakan oleh negara-negara maju produsen peralatan pertahanan. Hal seperti ini mengakibatkan negara Indonesia sangat tertinggal jauh dibidang teknologi pertahanan, karena baru sebagai negara konsumen. Untuk mengatasi kelemahan ini perlu strategi sebagai berikut : a) Mencari peluang transfer teknologi pertahanan dari negara maju untuk mentransfer teknologi pertahanan atau under license . b) Kerjasama bilateral pertahanan di bidang pendidikan, latihan militer bersama dan di bidang teknologi pertahanan melibatkan Industri nasional dan perguruan tinggi. Dengan tingkat kemampuan teknologi yang diharapkan untuk sistem pertahanan, setelah tertata dengan baik hal-hal yang berkenaan dengan SDM, sarana dan prasarana antara lain, sistem komunikasi dan informasi, kelembagaan serta fasilitas, maka kemampuan iptek pertahanan dan industri pertahanan yang diharapkan adalah : Kemampuan rancang bangun dan Platform; Teknologi automotive darat, laut dan udara dengan mobilitas tinggi ; Teknologi radar dengan jarak jangkauan jauh dan akurat ; Teknologi senjata dengan jarak capai tembak efektif yang jauh ; Teknologi yang tahan terhadap cuaca, masa pakai lama serta efisien; Teknologi yang terintegrasi dengan sista yang lainnya dan mudah dioperasikannya.

Perkembangan teknologi baru dikatakan mengawali suatu revolusi militer jika suatu teknologi baru (combustion engine) mulai secara berarti digunakan dalam sistem militer (main-battle tanks) yang kemudian dikombinasikan dengan konsep operasi baru (blietzkrieg) dan organisasi (divisi panser) untuk mencapai efektifitas suatu operasi militer. Kebijakan pertahanan nasional selalu diarahkan pada tiga tujuan fundamental yaitu perlindungan wilayah/teritorial, kedaulatan, dan keselamatan bangsa. Dalam konteks Indonesia, upaya untuk memenuhi kepentingan pertahanan nasional di atas harus memperhatikan, pertama, faktor geostrategis negara baik ke dalam dan keluar. Kedua, sistem dan strategi pertahanan nasional harus memperhatikan perubahan-perubahan dunia internasional, terutama perubahan sifat perang, sifat dan bentuk ancaman dalam dunia yang digerakkan oleh perkembangan pesat di bidang teknologi dan komunikasi. Perang modern, dengan pengecualian perang untuk menggulingkan suatu rejim, tidak lagi didominasi perang teritorial yang dilakukan dengan konsep-konsep perlawanan bersenjata secara gerilya, melainkan merupakan perang yang menekankan penghancuran infrastruktur vital atau center of gravity. Perkembangan ini mau tidak mau haruslah mengubah cara pandang/paradigma pertahanan negara Indonesia sebagai Negara kepulauan. Kalaupun pemikiran-pemikiran atas dasar land-based strategy masih dipertahankan, strategi ini akan berjalan efektif dengan dukungan kekuatan udara dan laut. Apa yang membuat air power menjadi penting ? Justru melihat luasnya lingkup pengembangan air power, masuk akal pula bila upaya ini melibatkan sebanyak mungkin pihak yang berkecimpung, baik dalam rekayasa dan manufakturing, pemeliharaan, maupun penelitian dan pengembangan, di lingkungan swasta, perguruan tinggi, serta di lingkungan Departemen Pertahanan dan TNI sendiri. Sementara itu, kondisi yang serba terbatas yang ada dewasa ini perlu disikapi pula dengan optimisme bahwa satu hari kelak RI akan memiliki air power yang sepadan dengan geografi dan geostrategi yang ada padanya.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara kepulauan terbesar yang memiliki garis katulistiwa terpanjang, terletak diantara dua benua dan dua samudera, membuat NKRI mempunyai posisi yang sangat strategis. Selain arus lalu lintas laut dan udara yang padat, juga letak Geo Stationary Orbit (GSO) di garis katulistiwa menyebabkan banyaknya satelit di ruang angkasa kita. NKRI memiliki sepuluh area perbatasan dengan negara tetangga, tiga diantaranya yaitu Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste merupakan perbatasan darat. Wilayah yang luasnya melebihi benua Eropa ini harus memiliki sistem ketahanan dan keamanan (Sishankamnas) yang mampu membawa peri kehidupan rakyat menuju suasana kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera.

Indonesia yang besar ini, membutuhkan sebuah sistem hankam yang kuat dan didukung adanya Angkatan Udara yang kuat. Perlu diingat, hanya Angkatan Udara yang mampu menyediakan faktor kecepatan, fleksibilitas, dan jarak jangkau yang baik di banding Angkatan lainnya. Kita bisa mengambil contoh saat Operasi Trikora. Dengan kekuatan udara, semua misi penyerangan di Irian Barat bisa dilakukan dengan baik. Sayang, pada masa itu kita tidak belajar bagaimana seharusnya membentuk Angkatan Udara dengan baik. Sehingga dari tahun ke tahun sistem hankam kita menjadi begitu rentan dan jauh tertinggal dalam mengakses perubahan ancaman.

Sistem hankam kita “Hankamrata” sebagai pengawal kedaulatan negara teramat rentan dengan terpecah belahnya kesatuan geografis negara. Di era sekarang, kekuatan darat dan laut mustahil akan mampu menangani setiap permasalahan gangguan keamanan tanpa bantuan air power. Kita ambil contoh beberapa perang terakhir, seperti Desert Storm Operation di Timur Tengah, Deny Operation di Kosovo, dan Enduring Freedom di Afganistan, yang bertumpu pada keunggulan air power. Masihkah kita enggan mengakui peran besar yang disumbangkan air power dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Angkatan Udara sendiri pasti tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Selain dana dan kewenangan yang terbatas, masalah kemandirian tehnologi adalah masalah bangsa. Andaikan Angkatan Udara masih berpijak pada tugasnya yang “to fight and to fly” tanpa mau tahu bagaimana cara pemerintah mencukupi kebutuhannya, itu juga tidak salah. Doktrin ditafsirkan sebagai falsafah dasar mengenai penggelaran pasukan. Doktrin adalah suatu keyakinan tentang perang yang pada gilirannya merupakan petunjuk operasional tentang bagaimana menggunakan kekuatan-kekuatan militer dalam pertempuran. Pancasila dan UUD 1945 serta ketentuan-ketentuan kontitusional lainny maupun konsep Wawasan Nusantara tidak dapat ditafsirkan sebagai doktrin dalam pengertian seperti itu, karena mereka tidak memberi petunjuk penggelaran kekuatan militer.

Secara tradisional kekuatan udara memainkan peranan kurang penting. Mereka tidak lebih sebagai kekuatan pendukung operasi darat dan laut. Namun perhitungan seperti ini mungkin harus diubah. Udara memainkan peran sebagai medium projectile, manufer, concealment dan surprise. Selain itu, dua faktor yang disebut di atas, yaitu perluasan dimensi dan substansi masalah keamanan serta perkembangan teknologi militer, akan memperkuat keharusan itu. Perubahan teknologi menjadikan kekuatan udara jauh lebih penting dalam perang modern daripada dalam perang konvensional. Perang Yom Kipur (Oktober 1977), inkursi Israel ke Libanon (1982), dan perang Teluk II (1990) menunjukkan betapa surveillance memainkan peranan menentukan untuk memenangkan pertempuran. Kaum maksimalis bahkan menganggap kekuatan udara semakin potensial untuk menentukan kemenangan. Menurut beberapa pakar militer, konsepsi Hankamrata dan perang gerilya termasuk dalam doktrin operasional TNI yang sudah tidak relevan lagi dengan sumber ancaman yang dihadapi Indonesia. Perang modern yang bersifat multi dimensional memerlukan pelibatan seluruh komponen yang ada di udara, laut dan darat. Sehingga doktrin operasional tersebut masih memerlukan perincian.Ketiga angkatan TNI, termasuk Angkatan Udara didalamnya, seharusnya memiliki peranan yang berimbang untuk melindungi wilayah teritorial dari ancaman luar, mengamankan pembangunan, dan menopang peran regional dan internasional Indonesia. Untuk mewujudkan air power yang mandiri memang perlu biaya mahal, namun kita tidak boleh mengelak dari kenyataan bahwa air power memang telah menjadi kebutuhan pokok sistem pertahanan kita.
Kita memang sedang terpuruk akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, namun masalah air power adalah masalah fundamen kedaulatan negara yang tidak bisa ditinggalkan. Sehingga aplikasi air power yang paling relevan bagi bangsa kita bukan pada sampai sejauh mana air power diterapkan, tetapi pada bagaimana prospek pengembangannya di masa depan. Tuntutan pengembangan jumlah kekuatan tempur yang dimiliki untuk mempertahankan wilayah kedaulatan kita memang mutlak adanya bagi TNI AU. Namun dengan kondisi bangsa kita yang sedang kembang kempis dan masih berkutat dalam teKnologi tradisionil, memiliki kekuatan tempur besar dengan cara mengimpor tentunya bukanlah solusi terbaik. TNI AU justru harus ikut menyisihkan dana dan berkonsentrasi pada riset kedirgantaraan dalam negeri agar di masa mendatang kita mampu memproduksi pesawat tempur dan persenjataan lain di dalam negeri. Disisi lain organisasi TNI Angkatan Udara telah menggelembung terlebih dahulu tanpa memiliki fundamen industri air power. Konsep “Small air force but professional” harus benar-benar dipahami dan diaplikasikan. Sebagai palang pintu negara di udara, penggelembungan kekuatan tanpa didasari dengan konsep taktis dan strategis operasi tempur sudah harus ditinggalkan. Lebih baik memiliki organisasi yang kecil namun benar-benar efektif dan efisien dalan melaksanakan misi-misi operasi.

Kesimpulan yang dapat diambil dari Pembahasan diatas adalah mengapa Indonesia perlu melakukan revitalisasi pertahanan udara untuk masa yang akan datang dalam menghadapi serangan invasi dari luar. Dalam perang modern diperlukan adanya teknologi serta adanya intelligence gathering yang akan memainkan peranan bukan hanya untuk maksud perang tetapi juga untuk damai. Tidak ada senjata canggih yang dapat digunakan dengan efektif tanpa sarana kendali komunikasi dan penginderaan. Di tengah perkembangan teknologi persenjataan yang cenderung semakin ofensif itu, survivabilitas suatu negara akan ditentukan oleh kemampuannya untuk melakukan deteksi dini, penentuan lokasi, identifikasi terhadap berbagai potensi ancaman.




DAFTAR PUSTAKA


Edy Prasetyono (2006). Kajian Kritis terhadap UU N0. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dalam Hari T. Prihartono. Penataan kerangka Regulasi keamanan Nasional.Jakarta:ProPatria Intitute. Hal.33-56

Jessica Tuchman Mathews, “Redefining Security”, Foreign Affairs Vol. 68, No. 2 (Spring 1988), 162.

J. Ann Tickner, “Revisioning Security”, dalam International Relations Theory Today, ed. Ken Booth dan Steve Smith (Cambridge: Polity Press, 1995), 194.

Barry Buzan, People, State and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era (London: Harvester Wheatsheaf, 1991), 19-20.

Secara singkat elaborasi konsep-konsep keamanan itu dapat diikuti dalam David Dewitt, “Common, Comprehensive, and Cooperative Security”, Pacific Review Vol. 7, No. 1 (1994): 1.

Fred Frostic dan Christopher J. Bowie, “Conventional Campaign Analysis of Major Regional Conflict”, dalam New Challenges for Defense Planning, 377.

Strategic Survey 1995/1996 (London: IISS, 1997), hal. 30-31.

H. Priyatna Abdurrasyid, Kekuatan Negara Di Udara, dalam Koesnadi Kardi dan Hendro Subroto (ed), Air Power Kekuatan Udara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm 1.

Koesnadi Kardi, “Indonesian Doctrine”, dalam A Join Surveillance Program: Australia and Indonesia , disunting oleh Koesnandi Kardi dan Noel A. Tesch (Fairbairn: Air Power Studies Centre 1995), hal. 35-47

Paul K. Davis, “Planning Under Uncertainty Then and Now: Paradigms Lost and Paradigms Emerging”, dalam New Challenges for Defense Planning: Rethinking How Much is Enough (Rand 1994), hal. 50.

Paul K. Davis dan Lou Finch, Defence Planning for the Post-Cold War: Giving Meaning to Flexibility, Adaptiveness, and Robustness of Capability (Santa Monica: Cal.: Rand, 1993), hal.34.

Saleh Basarah, Dari Gagasan Menjadi Doktrin, dalam Koesnadi Kardi dan Hendro Subroto (ed), Air Power Kekuatan Udara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm 26.
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

Tidak ada komentar: